Happy.. Bahagia..
Terkadang mudah untuk kita mengatakan bahwa harus bahagia atas apa yang sedang dijalani. Hidup ini cuma sekali jadi lebih baik isi dengan hal-hal yang bikin bahagia. Selain itu, ada juga anggapan bahwa bahagia itu penting untuk membuat diri menjadi sehat. Intinya kita perlu untuk bahagia.
Buat saya yang memiliki kecenderungan lebih banyak berpikir, tentu menjadi pertanyaan besar sebetulnya apa sih bahagia itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahagia adalah "keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan)." Jujur, saya termasuk orang yang sering menyusahkan diri sendiri. Memenuhi diri dengan perasaan dan pikiran yang sebetulnya tidak terjadi. Selalu membuat skenario dalam kepala, seolah-olah menjadi sutradara atas hidup yang dijalani. Padahal, itu semua hanya pengembangan atas pikiran yang pada dasarnya belum menjadi kenyataan.
Saya merasa dipenuhi oleh kecemasan dibandingkan kebahagiaan. Padahal kata orang-orang, bahagia itu sederhana. Tapi, kok saya merasa sulit ya untuk mendapatkan maupun merasakannya. Sampai sering mencuri-curi ide orang lain yang membuatnya merasa bahagia untuk bisa saya terapkan ke diri sendiri. Bagaimana hasilnya? Saya merasa tidak menjadi diri sendiri.
Duh serba salah. Pada dasarnya kita melihat orang lain merasa bahagia, namun terkadang kita tidak mengetahui bahwa bisa saja itu hanya tampilan luarnya. Namun sebetulnya belum tentu demikian. Media sosial cukup membuat saya merasa makin terpuruk. Bukannya merasa bahagia dengan melihat perkembangan yang ada dari kenalan, namun semakin membuat saya merasa memiliki hidup kelam. Ah.. benar-benar menyedihkan. Disaat saya memutuskan sampai titik merasa jenuh dengan semua yang dialami dalam hidup, belajarlah saya untuk bisa lepas dari toxic yang ada.
Ya, saya merasa hidup ini dipenuhi oleh toxic. Toxic pertama adalah pikiran saya sendiri. Toxic berikutnya adalah media sosial. Jujur menghilangkan toxic terkait pikiran itu sungguh susah. Saya berusaha untuk menghilangkan kebiasaan berpikir buruk dan berlebihan, namun itu susah dilakukan. Tetap selalu merasa bahwa kejadian tertentu bisa berkembang menjadi ini dan itu (sesuai sama pikiran sendiri). Fakatnya, tidak demikian adanya.
Lain halnya dengan toxic berhubungan dengan media sosial. Saya masih bisa berpuasa untuk tidak membuka media sosial. Semata-mata untuk menunjukkan ba
hwa diri sendiri juga berhak untuk di hargai, bukan hanya melihat orang lain yang "terlihat" sempurna. Sebab, merasa iri atas keberhasilan orang lain tidak akan membuat kita menjadi sukses.
Semua hal yang sebetulnya menjadi toxic dalam diri menjadikan saya sadar bahwa itu adalah penghalang untuk merasa bahagia. Padahal, penting buat diri kita bisa menyadari diri sendiri dan menerimanya. Berkaitan dengan pikiran yang terus membelenggu, akhirnya saya berusaha ikhlas melepasnya. Memang sulit, namun ketika saya berada dalam pikiran, pada saat tertentu saya berusaha untuk bangun dan keluar dari pikiran itu. Karena itu semua hanya di anggan-anggan tanpa menjadi kejadian utuh. Semua hanya skenario saja yang saya buat, bukan yang semestinya di jalani.
Setelah itu saya baru menyadari bahwa sesungguhnya bahagia memang mudah untuk di dapatkan. Karena itu semua hanya bisa diperoleh dari diri sendiri dan untuk diri sendiri.
Jadi, mulailah menyadari diri sendiri dan memberikan yang terbaik untuk diri sendiri.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments
Halo, salam kenal!
Terimakasih ya atas kesediaannya untuk membaca tulisan ini. Boleh ditinggalkan komennya agar kita bisa berkomunikasi satu sama lain :)
Sampai berjumpa di tulisan-tulisan berikutnya.